A.
Beberapa Gagasan Pokok Dalam Term Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah
Melacak
pengertian Ahl al-sunnah wa al-jama’ah akan mengalami kesulitan
tertentu. maka pelacakan makna etimologis kata tersebut dianggap penting,
karena akan dapat memberikan konfirmasi terhadap pemahaman yang populer
terhadapnya.
Secara
etimologis, ada tiga kata untuk mengetahui definisi ahl al-sunnah wa
al-jama’ah, kata Ahl, dapat diartikan pemeluk aliran[1]
atau pengikut madzhab.[2]
Untuk arti tersebut, kata Ahl berfungsi sebagai Badal Nisbat, karena dikaitkan dengan kata al-sunnah
sehingga bermakna orang-orang yang berfaham Sunni (Al-Sunniyyun).[3] Kedua,
kata Al-Sunnah di samping memiliki arti al-Hadits (ucapan,
cerita), ia juga bersinonim dengan kata al-sirah (sejarah) dan al-thariqah
(jalan, cara, metode), al-thabi’ah (kebiasaan), dan al-syari’ah
(syariat).[4]
Dari paparan di atas maka al-sunnah kemudian bisa diartikan sebagai jalan nabi
dan para sahabat (generasi salaf al-shalih). Ketiga,
kata al-jama’ah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan.[5]
Kata ini biasanya diidentikkan dengan penerimaan terhadap ijma’ sahabah
(konsensus sahabat nabi) yang diakui sebagai salah satu sumber hukum, sehingga
bila kata ini dikaitkan dengan madzhab dalam Islam, maka mengacu pada
arti kelompok Sunni. Hal itu karena penggunaan kata al-jama’ah
belum dikenal di kalangan orang khawarij ataupun rafidhah (syiah).
Begitu juga halnya dengan mu’tazilah, karena mereka tidak menerima ijma’
sebagai suatu sumber hukum.[6]
Definsi Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah yang sering
digunakan adalah “pengikut jalan yang ditempuh oleh nabi dan para sahabatnya”.
Sebagaimana yang disinyalir dalam salah
satu hadits tentang prediksi perpecahan umat Islam.[7]
Pengertian tersebut di atas, tentu saja sangatlah
longgar. Karena relatif dapat merangkum semua umat Islam, kecuali yang
mengingkari Sunnah. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan klaim kebenaran
yang dilekatkan Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah atas dasar hadits tersebut,
maka akan diperoleh pemahaman yang kontradiktif. Sebab, hanya Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah saja yang masuk surga. Ini bebarti mengandung watak ekslusif
dengan menegasikan kelompok lainnya. Saling klaim sebagai “kelompok yang
selamat” di antara kelompok-kelompok umat Islam tampaknya didasarkan atas
pemahaman terhadap hadis ini.[8]
Seperti yang telah dipaparkan di atas, pengertian umum yang
longgar itu, membuat setiap aliran keagamaan yang menyatakan dirinya merupakan
bagian dari Islam, tentu secara normatif berhak mengklaim diriya sebagai Ahl
al-sunnah wa al-Jama’ah. Sebab, tidak satupun aliran Islam yang mau disebut
“menyimpang” dari Islamnya Nabi dan sahabat (tradisi Salaf Al-Shalih).
Definisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah seperti ini tidak bisa digunakan
untuk mengenalkan sebuah pemikiran keagamaan tertentu secara penghayatan telah
membentuk sebuah aliran pemikiran keagamaan yang nyata.
Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai suatu
aliran, muncul pada era Ashab al-Asy’ari (ulama-ulama Asy’ariyah),
walaupun mereka tidak secara tegas menyatakannya sebagai madzhab. Pernyataan
yang tegas tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai identitas baru dijumpai
dalam pernyataan Murtadha al-Zabidi (w. 1205 H/1732 M). Ia mengatakan: “jika
disebutkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka yang dimaksud adalah penganut
al-Asy’ari dan al-Maturidi”.[9]
Selain Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, ada istilah
–istilah lain yang juga digunakan untuk memperkenalkan kelompok Sunni,
yaitu: Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah wa al-Athar,[10]
Ahl al-Hadits wa al-Sunnah, Ahl al-Sunnah wa Ashab al-Hadits, Ahl al-Sunnah wa
al-Istiqamah dan Ahl al-Haqq wa al-Sunnah.[11]
B. Bangunan Faham
Sunni Era Awal
Akar perkembangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
sebagai aliran, sekte atau paham keagamaan dapat dilacak dari fenomena
kemunculan berbagai golongan (firqah) di kalangan umat Islam pada masa Khulafa
al-Raasyidiin. Lahirnya firqah-firqah ini mula-mula berlatar belakang
politik, yakni problem politik pasca Nabi.[12] Pertentangan berdasarkan politik yang muncul saat itu adalah Anshar, Muhajirin, dan
Ahl Bait sebagai salah satu pecahan dari Muhajirin.[13]
Konflik politik kembali muncul ketika Ali
menggantikan posisi Usman yang terbunuh dalam serangkaian pemberontakan.
Muawiyah bin Abu Sufyan, kerabat Usman yang menjadi gubernur di Syam menuduh Ali
sebagai provokator pemberontakan dan menuntutnya bertanggung jawab atas kematian
Usman.[14]
Dengan alasan yang sama, Aisyah istri nabi yang berkoalisi dengan mantan
pendukung Ali, yakni Talhah dan Zubair, secara terang-terangan juga menyatakan
oposisi terhadap Ali.[15]
Pertentangannya dengan kelompok Aisyah menimbulkan perang
Jamal yang pada akhirya Talhah dan Zubair gugur dalam perang tersebut.
Sedangkan pertikaian Ali dengan Muawiyah berpuncak pada perang Shiffin
yang berakhir dengan dilaksanakannya takhkim (Arbitrase). Sebagian
pendukung Ali yang kecewa terhadap Takhkim menjelma menjadi kelompok baru
yang radikal dan dikenal dengan Khawarij.[16]
Mengiringi rentetan konflik masalah khilafah yang
berkepanjangan itu, timbullah serangkaian konflik yang berkaitan erat dengan akidah sebagi basis legitimasi
masing-masing pihak. Kelompok pendukung Ali (Syi’at Ali) yang kemudian disebut dengan
Syi’ah berkembang menjadi kelompok yang sangat
fanatik. Mereka berpendirian bahwa ketiga khalifah pendahulu Ali, Muawiyah ,
maupun Bani Abbas,[17]
pada hakikatnya telah merampas hak Ali.[18]
Sementara itu kaum Khawarij berpendapat bahwa Ali
maupun Muawiyah telah melanggar hukum Tuhan dengan melakukan Takhkim. Menurut mereka,
pelanggaran terhadap hukum tuhan adalah dosa besar dan pelakunya adalah kafir.[19]
Kemudian
pada saat itu, muncul pihak ketiga yang tidak sependapat dengan mereka, yakni Murji’ah.[20]
Mereka menyatakan, pihak-pihak yang berseteru itu semuanya tetap mukmin, namun
siapa di antara mereka yang salah dan siapa yang benar tidak diketahui dengan
pasti, karena itu mereka abstain dan menyerahkan keputusan hukumnya kepada
Allah.[21]
C. Doktrin sunnisme
D. Pola umum sunnisme
[6]Al-Isfirayini, al-Tabshir fi al-Din wa Tamyiz al-Firqah al-Najiyyah’an al-Firaq
al-Halikin (Kairo: Maktabah Al-Anwar, 1940). Hal. 114-115
[7] Salah satu hadits tentang prediksi perpecahan umat Islam ini menurut teks
Tirmidzi sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَ سَبْعِيْنَ أَوِ
اثْنَتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَ النَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَ تَفْتَرِقُ
أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً
“Umat yahudi akan
terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umat nasrani terpecah juga sejumlah
itu. Ummatku (akan) terpecah menjadi 73golongan”
hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu
Dawud, Ahmad bin Hanbal, Nasa’i, Ibn Majah Dan Hakim. Tirmidzi meriwayatkan
hadits ini dari 4 jalur sanad: Abu Hurairah, Sa’ad, Abdullah bin Amr dan Auf
bin Malik dengan
lafadz teks berbeda. Menurut ibnu Isa kualitas hadis ini hasan shahih dan
kalangan ahli hadits lainnya, status hadis ini tidak dipersoalkan otoritasnya
sebagai hujjah. Albani, silsilah ahadits al-shahihah wa syai_un min
fuqaha wa fawaidiha, vol. I, (riyadh: maktabah alma’arif, 1995). Hal. 402-403
dalam teks lain dari jalur abdullah bin umar
menurut riwayat tirmidzi terdapat tambahan kata-kata:
كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَحِدَةً
قَالُوا وَ مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ و أَصْحَابِهِ
“semua masuk neraka
kecuali satu golongan. Sahabat bertanya: sipakah golongan itu? Ya rasul.
Rasulullah menjawab: yang mengikuti aku dan golonganku”
Karena hanya ada satu periwayatan, maka Tirmidzi
menyebutkan bahwa: “hadits tersebut hasan gharib, yang tidak kami ketahui
adanya jalur periwayatan lain selain jalur Abdullah bin Umar” (hadza
haditsun hasanun gharibun, laa na’rifuhu mitsla hadza illa min hadza al-wajhi).
perlu ditambhkan, awalnya hadits ini berstatus lemah (dh’if),
kapasitas salah satu perawinya yakni Abdurrahman bin Ziyad al-Ifriqi menjadi
penyebab status ke-dha’if-annya. Hanya saja karena ada hadits penguat
dari jalur lain, maka statusnya berubah menjadi hasan. Al-mabarakafuri, Tuhfah
al-Wadhi bi Syarkh Jami’ al-Tirmidzi. Vol. VII (Beirut: Dar al-Fikr, t.t).
hal. 400
Berdasarkan penelitian assa’idi mengenai
hadits-hadits firqah umat Islam dari 4 jalur sanad tersebut, dapat
disimpulkan bahwa keempat hadits itu tidak diragukan kevalidannya. Maka dari
itu dapat dipakai sebagai hujjah. Sa’dullah as-Sa’idi, Hadits-Hadits
Sekte. (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1996). Hal. 33-56
[8] Sebenarnya ada hadits lain yang mengandung
pengertian sebaliknya dari hadits-hadits yang populer tentang firqah di atas
[9] Muhammad bin Muhammad al-Zabidi, Ittihaf Saadaat al-Muttaqiin, Syarkhu
Ihya’ Uluumu al-Diin li al-Ghazali, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah)
[16] Kata Khawarij adalah bentuk plural dari kharij (orang yang keluar).
Khawarij adalah kelompok oposisi yang keluar dari barisan pendukung ali dan
tidak pula pendukung muawiyah.
[17] Setelah dinasti Bani Umayyah berkuasa selama kurang
lebih satu abad, salah satu keturunan ‘Abbas menjalin konspirasi dengan ‘Alawiyyin
(keturunan Ali)nuntuk menumbangkan dinasti Umayyah. Konspirasi
tersebut mengandung muatan politis yang dominan dari Bani ‘Abbas, di mana
kelompok ini melakukan intrik politil internal dalam rangka meluluskan
ambisinya untuk berkuasa, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan emosional ‘Alawiyyin
terhadap Bani Umayyah. Lihat: Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam wa al-Din wa
al-Tsaqafi wa al-Ijtimaa’, Vol II, (Kairo; Maktabah al-Nahdhah
al-Misriyyah, 1965). Hal. 1-6
[18] Amin
Ahmad, Duhaa Islam, Vol. I, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah,
1964). Hal. 267-287
[19]Kelompok ini menytakan argumentasi “laa Khukma illaa Allah” (tidak
ada pihakyang berhak untuk menentukan hukum, kecuali Allah). Ibid. hal. 256-265.
[20] Kata murji’ah berarti menunda atau menunggu. Istilah ini digunakan untuk
menunjuk kelompok yang abstain terhadap konflik antara sahabat nabidan
memilih untuk menunda keputusan mengenai benar dan salah bagi mereka yang
bertikai yakni dengan menunggu keputusan Allah. Ibid.
279.
[21] Ibid.
hal. 279-303
0 comments:
Post a Comment